Mengenal Sosok KH. Ahmad Dahlan Yang Penyabar
Muhammad
Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya
pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15
tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di
Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama,
yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan
(ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam,
serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu,
pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an
dan al-Hadits.
Pada usia 20
tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan.
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah.
Sepulang dari
Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.
Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad
Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Sebagai
seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa
yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau
mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa
karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada
seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan,
hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu,
renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya. Dari pesan itu
tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk
mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang
harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah,
amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan
yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah
Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang
baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut
harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran
seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam
di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban
itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh
beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu
tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk
membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan
gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah
tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun
dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan
ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk
mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah
dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA
Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta,
karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama
Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja
tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena
mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat.
Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera
mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena
mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga
mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri
Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita
pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan
tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia
dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan
sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup
tinggi. Di samping itu, ia dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship
yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang
yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi
Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad saw.
Pada tahun
1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan
suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam.
Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18
Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah
disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di
samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di
Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei
1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan
Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres
Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna
mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres
tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan
maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam
dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan
menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap
membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut
kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak
penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan
Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari
langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam
melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi
para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin
dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering
(persidangan umum).
Atas
jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat
Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar
dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya,
telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan
dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori
amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita
(Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan.
Artikel Dibuat Oleh :
Rahmah yuni hasanah ( smk Muhammadiyah ulujami
)